Kamis, 17 Oktober 2019

TEORI DAN TEKNIK HUMANISTIK


TEORI DAN TEKNIK HUMANISTIK
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3
NURUL ASSYURA
RAPIKA
DOSEN PEMBIMBING: NURUL HIKMAH, M.Pd
MATA KULIAH: TEORI DAN PENDEKATAN KONSELING
UNIT: II


JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN  ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
2018M/1439H


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur selalu kita panjatkan kehadiran Allah SWT, Tuhan semesta sekalian alam yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayahnya kepada seluruh makhluk di muka bumi ini. Untuk itu hanya karena kekuasaan dan kehendaknya pulalah akhirnya penulis dapat mewujudkan buah pikirannya dalam bentuk tulisan yang sederhana ini.
Tema makalah kali ini yang diambil adalah mengenai ‘’Teori dan Teknik Humanistik‘’. Tulisan ini juga dapat menjelaskan bagamaina pandangan konseling humanistik pada manusia, sehingga tulisan ini dapat dipakai sebagai bahan referensi untuk materi yang sama dengan mata kuliah yang bersangkutan.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa rasanya sulit untuk dapat mewujudkan tulisan ini kehadapan para pembaca tanpa bantuan orang lain, untuk itu izinkanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling yang bernama ibu NURUL HIKMAH, M.Pd dan tentunya juga ucapan terima kasih kepada orang tua yang telah memberikan dukungan serta doanya. Selain itu ucapan terima kasih kepada teman-teman yang memberikan dukungan dan informasi-informasi mengenai tema tulisan yang saya ambil kali ini.
Akhir kata, bahwa sebagai manusia biasa tentunya penulis tidak luput dari segala kelemahan dan kekurangan. Harapan terakhir dari penulis, semoga tulisan ini dapat memberikan arti dalam memperkaya khasanah keilmuan para pembaca yang selalu haus dan lapar dengan ilmu pengetahuan.

Lhokseumawe, 13  oktober 2018

                                                                              Penulis


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR……………………………………………...........................            i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II KAJIAN TEORI............................................................................................. 3
A. Pandangan Konseling Humanistik Pada Manusia .................................................. 3
B. Fungsi dan Peran Terapis ……………………………...…………………………. 4
C. Tujuan Eksistensial Humanistik …………………..…….………………………... 5
D. Proses dan Teknik Konseling Eksistensial Humanistik  …………………………. 6
E. Pembahasan ………………………………………………………………………. 8

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 11
A.Kesimpulan ............................................................................................................ 11

      DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................12









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Terapi eksistensial humanistik adalah terapi yang sesuai dalam memberikan bantuan kepada si konseli. Karena teori ini mencakup pengakuan eksistensialisme terhadap kekacauan, keniscayaan, keputusasaan manusia kedalam dunia tempat dia bertanggung jawab atas dirinya[1].
Menurut kartini kartono dalam kamus psikologinya mengatakan bahwa terapi eksistensial humanistik adalah salah satu psikoterapi yang menekankan pengalaman ubyektif individual kemauan bebas, serta kemampuan yang ada untuk menentukan satu arah baru dalam hidup.[2]
Sedangkan menurut W.S Winkel, Terapi Eksistensial Humanistik adalah Konseling yang menekankan implikasi – implikasi dan falsafah hidup dalam menghayati makna kehidupan manusia di bumi ini. Konseling Eksistensial Humanistik berfokus pada situasi kehidupan manusia di alam semesta, yang mencakup tanggung jawab pribadi, kecemasan sebagai unsur dasar dalam kehidupan batin. Usaha untuk menemukan makna diri kehidupan manusia, keberadaan dalam komunikasi dengan manusia lain, kematian serta kecenderungan untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin.[3]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diketahui rumusan masalah sebagai berikut.

a.       Bagaimana pandangan konseling humanistik pada manusia?

b.      Bagaimana proses dan teknik konseling humanistik?

c.       Apa saja fungsi dan peran humanistik?

C.    Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah diatas  maka dapat diketahui tujuan dari pembuatan  makalah ini adalah sebagai berikut.

1.      Mengetahui apa pandangan konseling humanistik pada manusia.

2.      Mengetahui proses dan teknik konseling humanistik.

3.   Mengetahui  fungsi dan peran humanistik.



















BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Pandangan Konseling Humanistik Tentang Manusia
Terapi Eksistensial humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu sistem tehnik-tehnik yang digunakan untuk mempengaruhi konseli. Eksistensial humanistik berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik minimal lebih banyak baiknya dari pada buruknya. Terapi eksistensial humanistik memusatkan perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang mengenai pada eksistensial manusia, seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreatifitas, kebebasan sikap etis dan rasa estetika. Oleh karena itu, pendekatan eksistensial humanistik bukan justru aliran terapi, bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang ke semuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
Pendekatan eksistensial humanistik mengembalikan pribadi kepada focus sentral, memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial humanistik secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia, kesadaran diri, dan kebebasan yang konsisten.[4]
Menurut teori dari Albert Ellis yang berhubungan dengan eksistensi manusia. Ia menyatakan bahwa manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat sebagai individu sebagai unik dan memiliki kekuatan untuk menghadapi keterbatasan-keterbatasan untuk merubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mempertemukan sistem-sistem nilainya sendiri dan memberi indoktrinasi diri dengan keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan dan nilai yang berbeda, sehingga akibatnya, mereka akan bertingkah laku yang berbeda dengan cara mereka bertingkah laku dimasa lalu. Jadi karena berfikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya bertambah, mereka bukan korban-korban pengondisian masa lalu yang positif.[5]
Berdasar pendapat Ellis diatas, maka dapat diambil pengertian, bahwa setiap individu mempunyai kemampuan untuk merubah dirinya dari hal-hal yang diterimanya. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mempertahankan perasaannya sendiri dan dapat memberikan ajaran kembali kepada dirinya melalui keyakinan, pendapat, dan hal-hal yang penting lainnya. Disini pendekatan eksistensial humanistik adalah mengembalikan potensi-potensi diri manusia kepada fitrahnya. Pengembangan potensi ini pada dasarnya untuk mengaktualisasikan diri konseli dan memberikan kebebasan konseli untuk menentukan nasibnya sendiri dan menanamkan pengertian bahwa manusia pada fitrahnya bukanlah hasil pengondisian atau terciptanya bukan karena kebetulan. Manusia memiliki fitrah dan potensi yang perlu dikembangkan.
            Fitrah adalah sebagaimana potensi-potensi manusia lainya diberikan kepada manusia untuk kelengkapan ciptaan-Nya, sebagai karunia terbesar untuk menunjang fungsi dan tugasnya di  bumi Allah. Fitrah adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir. Selanjutnya fitrah ini disebut Tauhid,yakni sebagai potensi beragama yang lurus sejak mula kejadiannya.[6] Dasar pembicaraan mengenai fitrah adalah alquran surat Ar-Rum ayat 30, yang artinya:
‘’Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’’

B.     Fungsi dan Peran Terapis
Dalam pandangan eksistensialis tugas utama dari seorang terapis adalah mengeksplorasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketakberdayaan, keputusasaan, ketakbermaknaan, dan kekosongan eksistensial serta berusaha memahami keberadaan konseli dalam dunia yang dimilikinya. May (1981), memandang bahwa tugas terapis bukanlah untuk merawat atau mengobati konseli, akan tetapi diantaranya adalah membantu konseli agar menyadari tentang apa yang sedang mereka lakukan, dan untuk membantu mereka keluar dari posisi peran sebagai korban dalam hidupnya dalam keberadaanya di dunia[7]: “Ini adalah saat ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia yang mengancam dan sebagai subyek yang memiliki dunia”.
Frankl (1959), menjabarkan peran terapis bukanlah menyampaikan kepada klien apa makna hidup yang harus diciptakannya, melainkan mengungkapkan bahwa konseli bisa menemukan makna, bahkan juga dari penderitaan. Dengan pandangannya itu Frankl bukan hendak menyebarkan aroma yang pesimistik dari filsafat eksistensial, melainkan mengingatkan bahwa penderitaan manusia (aspek-aspek tragis dan negative dari hidup ) bisa diubah menjadi prestasi melalui sikap yang diambilnya dalam menghadapi penderitaan itu. Frankl juga menekankan bahwa orang-orang bisa menghadapi penderitaan, perasaan berdosa, kematian, dan dalam konfrontasi, menantang penderitaan, sehingga mencapai kemenangan. Ketidak bermaknaan dan kehampaan eksistensial adalah masalah-masalah utama yang harus dihadapi dalam proses terapiutik.[8]

C.    Tujuan Eksistensial Humanistik
Tujuan mendasar eksistensial humanistik adalah membantu individu menemukan nilai, makna, dan tujuan dalam hidup manusia sendiri. Juga diarahkan untuk membantu klien agar menjadi lebih sadar bahwa mereka memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak, dan kemudian membantu mereka membuat pilihan hidup yang memungkinkannya dapat mengaktualisasikan diri dan mencapai kehidupan yang bermakna.
Menurut Gerald Corey terapi eksistensial humanistik bertujuan agar konseli mengalami keberadaanya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik, menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan memikul tanggung jawab untuk memilih. Pada dasar nya terapi eksistensial adalah meluaskan kesadaran diri konseli, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.[9]

D.    Proses dan Teknik Konseling Eksistensial Humanistic
Proses konseling eksistensial humanistik menggambarkan suatu bentuk aliansi terapis antara konselor dengan konseli. Konselor eksistensial mendorong kebebasan dan tanggung jawab, mendorong konseli untuk menangani kecemasan, keputusasaan, dan mendorong munculnya upaya-upaya untuk membuat pilihan yang bermakna. Untuk menjaga penekanan pada kebebasan pribadi, konselor perlu mengekspresikan nilai-nilai dan keyakinan mereka sendiri, memberikan arahan, menggunakan humor, dan memberikan sugesti dan interpretsai dan tetap memberikan kebebasan pada konseli untuk memilih sendiri manakah diantara alternatif-alternatif yang telah diberikan.
Untuk dapat memahami sepenuhnya perasaan dan pikiran konseli tentang isu-isu kematian, isolasi, putus asa dan rasa bersalah, konselor perlu melibatkan dirinya dalam kehidupan konseli. Untuk mencapai kondisi seperti itu, konselor harus mengkomunikasikan empati, respek, atau penghargaan, dukungan, dorongan, keterbukaan, dan kepedulian yang tulus. Sepanjang proses konseling, konselor harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh sehingga mereka dapat memahami pandangan-pandangan konseli kemudian membantunya mengekspresikan ketakutan-ketakutannya dan mengambil tanggung jawab bagi kehidupannya sendiri. Program perlakuan dapat diakhiri jika konseli telah mampu untuk mengimplementasikan kesadaran tentang diri mereka dan mengarahkan dirinya untuk mencapai hidup yang lebih bermakna. Kondisi ini memungkinkan konseli menemukan jalan mudah untuk mengaktualisasikan diri.
Teknik utama eksistensial humanistik pada dasarnya adalah penggunaan pribadi konselor dan hubungan konselor terhadap konseli sebagai kondisi perubahan. Namun eksistensial humanistik juga merekomendasikan beberapa teknik (pendekatan) khusus seperti menghayati keberadaan dunia obyektif dan subyektif konseli, pengalaman pertumbuhan simbolik (suatu bentuk interpretasi dan pengakuan dasar tentang dimensi-dimensi simbolik dari pengalaman yang mengarahkan pada kesadaran yang lebih tinggi, pengungkapan makna, dan pertumbuhan pribadi). Pada saat terapis menemukan keseluruhan dari diri konseli, maka saat itulah proses terapis berada pada saat yang terbaik. Penemuan kreatifitas diri terapis muncul dari ikatan saling percaya dan kerjasama yang bermakna dari klien dan terapis.
Proses konseling oleh para eksistensial meliputi tiga tahap yaitu:
1. Tahap pertama, konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Konseli diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
2. Pada tahap kedua, konseli didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari system mereka. Semangat ini akan memberikan konseli pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
3. Tahap ketiga berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Konseli didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Konseli biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaaan kebebasan pribadinya.
Firman Allah SWT : (QS Al Baqarah : 30 )
Artinya :
            Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(Q.S Al Baqarah : 30)

E.     Pembahasan
Humanistik adalah sebuah “gerakan” yang muncul dengan menampilkan gambaran manusia yang berbeda dengan gambaran manusia dari psikoanalisis ataupun behaviorisme, yaitu berupa gambaran manusia sebagai makhluk yang  bebas dan bermartabat serta selalu bergerak ke arah pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya apabila lingkungan nya memungkinkan.
Teori humanistik berkembang sekitar tahun 1950-an sebagai teori yang menentang teori-teori psikoanalisis dan behavioristik. Serangan humanistik terhadap kedua teori ini adalah bahwa kedua-duanya bersifat dehumanizing (melecehkan nilai-nilai manusia).
Teori freud dikritik karena memandang tingkah laku manusia didominasi atau ditentukan oleh dorongan yang bersifat primitif, dan animalistik (hewan). Sementara behavioristik dikritik karena teori ini terlalu asyik dengan penelitiannya terhadap binatang, dan menganalisis kepribadiaan secara pragmentasi. Kedua teori ini dikritik karena memandang manusia sebagai bidak atau pion yang tidak berdaya dikontol oleh lingkungan dan masa lalu, dan sedikit sekali kemampuan untuk mengarahkan diri.
Abraham maslow (1908-1970) dapat dipandang sebagai bapak dari psikologi humanistik. Manusia adalah makhluk yang kreatif, yang dikendalikan bukan oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran psikoanalisis, melainkan nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri. Pada tahun 1958 maslow menanamkan psikologi humanistik sebagai “kekuatan yang ketiga”, di samping psikologi behavioristik dan psikoanalisis sebagai kekuatan pertama dan kekuatan kedua.
Menurut maslow psikologi harus lebih manusiawi, yaitu lebih memusatkan perhatiaannya pada masalah-masalah kemanusiaan. Psikologi harus mempelajari kedalaman sifat manusia, selain mempelajari perilaku yang nampak juga mempelajari perilaku yang tidak nampak; mempelajari ketidaksadaran sekaligus mempelajari kesadaran. Introspeksi sebagai suatu metode penelitiaan yang telah disingkirkan, harus dikembalikan lagi sebagai metode penelitiaan psikologi. Psikologi harus mempelajari manusia bukan sebagai tanah liat yang pasif, yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar, tetapi manusia adalah makhluk yang aktif, menentukan gerakannya sendiri, ada kekuatan dari dalam untuk menentukan perilakunya.
Ada empat ciri psikologi yang berorientasi humanistik, yaitu:
1. memusatkan perhatiaan pada person yang mengalami, dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena sebagai primer dalam mempelajari manusia.
2. menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti kreativitas, aktualisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang manusia yang mekanistis dan reduksionistis.
3. menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang akan digunakan.
4. memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu. Selain maslow sebagai tokoh dalam psikologi humanistik, juga carl rogers (1902-1987) yang terkenal dengan clint-centered therapy.
Terdapat beberapa kritik tentang kelemahan pendekatan humanistik mengenai kepribadian yaitu sebagai berikut.
a) poor testability, teorinya sulit diuji (diukur) secara ilmiah, seperti konsep perkembangan manusia dan self-actualization.
b) unrealistic view of human nature. Humanistik terlalu optimis dalam mengasumsikan tentang hakikat manusia. Dalam mendeskripsikan ciri-ciri self-actualizing terlalu sempurna.
c) inadequate evidence, bukti-bukti yang tidak tepat. [10]















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
         Humanistik adalah sebuah gerakan yang muncul dengan menampilkan gambaran manusia yang berbeda dengan gambaran manusia yang berbeda dengan gambaran manusia dari psionalisis ataupun behaviorisme, yaitu berupa gambaran manusia sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat serta selalu bergerak kearah pengungkapan segenappotensi yang dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan.

Ada empat ciri psikologi yang berorientasi humanistik
1. memusatkan perhatiaan pada person yang mengalami, dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari manusia
2. menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti kreativitas, aktualitas diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang manusia yang mekanistis dan reduksionistis.
3. menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitiaan yang akan digunakan.
4. memberikan perhatiaan penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi dan inheren pada setiap individu.

Kritik tentang teori humanistik
a) teorinya sulit diuji (diukur) secara ilmiah, seperti konsep perkembangan manusia dan self-actualization.
b) humanistik terlalu optimis dalam mengasumsi tentang hakikat manusia.
c.) bukti-bukti yang tidak tepat.


DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.uinsby.ac.id/10126/6/bab%202.pdf
Gerald, Corey. 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.Bandung: PT ERESCO
Kartono, Kartini dan Dali Gulo, 2006. Kamus Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada
W.S Winkel,Bimbingan dan praktek Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: PT. Gramedia. 1987)
Departemen Pendidikan Nasional, Modul Bimbingan dan Konseling PLPG Kuota
2008(Surabaya:Unesa,2008)
Walgito, Bimo, 2004. Pengantar Psikologi Umum. CV Andi Offset. Yogyakarta.
praja, Yuliana S,Fitrah menurut Ibnu Taimiyah Dalam Ulumul Qur’an , Vol. II , No.7 tahun 1990, Jakarta, LSAF.

Assegaf, Abdurrahman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2011







[1] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, ( Bandung : PT. Eresku, 1995) hal 56
[2] Kartini Kartono dan Dali Golo, Kamus psikologi, hal 17
[3] W.S Winkel,Bimbingan dan praktek Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: PT. Gramedia. 1987) Hal 383
[4] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi,....hal 84
[5] Ibid.,hal.242
[6] QS. Rum : 30
[7] Departemen Pendidikan Nasional, Modul Bimbingan dan Konseling PLPG Kuota
2008(Surabaya:Unesa,2008),h.17
[8] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Hal 74
[9] Ibid.,hal. 54
[10] Bimo Walgito, pengantar psikologi umum, Hal 90


Tidak ada komentar:

Posting Komentar