TEORI DAN TEKNIK
HUMANISTIK
DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK
3
DOSEN
PEMBIMBING: NURUL HIKMAH, M.Pd
MATA KULIAH: TEORI DAN PENDEKATAN KONSELING
UNIT: II
MATA KULIAH: TEORI DAN PENDEKATAN KONSELING
UNIT: II
JURUSAN
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS
USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
2018M/1439H
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur selalu kita panjatkan kehadiran Allah SWT, Tuhan semesta sekalian
alam yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayahnya kepada seluruh makhluk di
muka bumi ini. Untuk itu hanya karena kekuasaan dan kehendaknya pulalah
akhirnya penulis dapat mewujudkan buah pikirannya dalam bentuk tulisan yang
sederhana ini.
Tema
makalah kali ini yang diambil adalah mengenai ‘’Teori dan Teknik Humanistik‘’.
Tulisan ini juga dapat menjelaskan bagamaina pandangan
konseling humanistik pada manusia, sehingga tulisan ini dapat dipakai sebagai bahan referensi
untuk materi yang sama dengan mata kuliah yang bersangkutan.
Selanjutnya
penulis menyadari bahwa rasanya sulit untuk dapat mewujudkan tulisan ini
kehadapan para pembaca tanpa bantuan orang lain, untuk itu izinkanlah penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen mata kuliah Teori dan Pendekatan
Konseling yang bernama ibu NURUL HIKMAH, M.Pd dan tentunya juga ucapan terima
kasih kepada orang tua yang telah memberikan dukungan serta doanya. Selain itu
ucapan terima kasih kepada teman-teman yang memberikan dukungan dan informasi-informasi
mengenai tema tulisan yang saya ambil kali ini.
Akhir
kata, bahwa sebagai manusia biasa tentunya penulis tidak luput dari segala
kelemahan dan kekurangan. Harapan terakhir dari penulis, semoga tulisan ini
dapat memberikan arti dalam memperkaya khasanah keilmuan para pembaca yang
selalu haus dan lapar dengan ilmu pengetahuan.
Lhokseumawe, 13
oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………........................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
............................................................................................1
A. Latar
Belakang
........................................................................................................
1
B. Rumusan
Masalah ...................................................................................................
2
C. Tujuan
.....................................................................................................................
2
BAB II KAJIAN TEORI.............................................................................................
3
A. Pandangan
Konseling Humanistik Pada Manusia ..................................................
3
B. Fungsi
dan Peran Terapis ……………………………...…………………………. 4
C. Tujuan Eksistensial Humanistik …………………..…….………………………... 5
C. Tujuan Eksistensial Humanistik …………………..…….………………………... 5
D. Proses dan Teknik Konseling Eksistensial Humanistik …………………………. 6
E.
Pembahasan ………………………………………………………………………. 8
BAB III PENUTUP ...................................................................................................
11
A.Kesimpulan
............................................................................................................
11
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Terapi eksistensial humanistik adalah
terapi yang sesuai dalam memberikan bantuan kepada si konseli. Karena teori ini
mencakup pengakuan eksistensialisme terhadap kekacauan, keniscayaan,
keputusasaan manusia kedalam dunia tempat dia bertanggung jawab atas dirinya[1].
Menurut kartini kartono dalam kamus
psikologinya mengatakan bahwa terapi eksistensial humanistik adalah salah satu
psikoterapi yang menekankan pengalaman ubyektif individual kemauan bebas, serta
kemampuan yang ada untuk menentukan satu arah baru dalam hidup.[2]
Sedangkan menurut W.S Winkel, Terapi
Eksistensial Humanistik adalah Konseling yang menekankan implikasi – implikasi
dan falsafah hidup dalam menghayati makna kehidupan manusia di bumi ini.
Konseling Eksistensial Humanistik berfokus pada situasi kehidupan manusia di
alam semesta, yang mencakup tanggung jawab pribadi, kecemasan sebagai unsur
dasar dalam kehidupan batin. Usaha untuk menemukan makna diri kehidupan
manusia, keberadaan dalam komunikasi dengan manusia lain, kematian serta
kecenderungan untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin.[3]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat diketahui rumusan masalah sebagai berikut.
a. Bagaimana
pandangan konseling humanistik pada manusia?
b. Bagaimana
proses dan teknik konseling humanistik?
c. Apa saja
fungsi dan peran humanistik?
C.
Tujuan
Berdasarkan
perumusan masalah diatas maka dapat diketahui tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Mengetahui apa pandangan konseling
humanistik pada manusia.
2.
Mengetahui proses dan teknik
konseling humanistik.
3.
Mengetahui fungsi dan peran
humanistik.
BAB II
KAJIAN TEORI
KAJIAN TEORI
A.
Pandangan
Konseling Humanistik Tentang Manusia
Terapi Eksistensial humanistik berfokus
pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang
menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu sistem tehnik-tehnik
yang digunakan untuk mempengaruhi konseli. Eksistensial humanistik berasumsi
bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik minimal lebih
banyak baiknya dari pada buruknya. Terapi eksistensial humanistik memusatkan
perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni sifat-sifat dan
kemampuan khusus manusia yang mengenai pada eksistensial manusia, seperti
kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreatifitas,
kebebasan sikap etis dan rasa estetika. Oleh karena itu, pendekatan
eksistensial humanistik bukan justru aliran terapi, bukan pula suatu teori
tunggal yang sistematik suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang
berlainan yang ke semuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang
manusia.
Pendekatan eksistensial humanistik
mengembalikan pribadi kepada focus sentral, memberikan gambaran tentang manusia
pada tarafnya yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam
proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan
memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial humanistik secara tajam berfokus
pada fakta-fakta utama keberadaan manusia, kesadaran diri, dan kebebasan yang
konsisten.[4]
Menurut teori dari Albert Ellis yang
berhubungan dengan eksistensi manusia. Ia menyatakan bahwa manusia bukanlah
makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh
naluri-naluri. Ia melihat sebagai individu sebagai unik dan memiliki kekuatan
untuk menghadapi keterbatasan-keterbatasan untuk merubah pandangan-pandangan
dan nilai-nilai dasar dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak
diri sendiri. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mempertemukan sistem-sistem
nilainya sendiri dan memberi indoktrinasi diri dengan keyakinan-keyakinan,
gagasan-gagasan dan nilai yang berbeda, sehingga akibatnya, mereka akan
bertingkah laku yang berbeda dengan cara mereka bertingkah laku dimasa lalu.
Jadi karena berfikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya bertambah, mereka
bukan korban-korban pengondisian masa lalu yang positif.[5]
Berdasar pendapat Ellis diatas, maka
dapat diambil pengertian, bahwa setiap individu mempunyai kemampuan untuk
merubah dirinya dari hal-hal yang diterimanya. Manusia mempunyai kesanggupan
untuk mempertahankan perasaannya sendiri dan dapat memberikan ajaran kembali
kepada dirinya melalui keyakinan, pendapat, dan hal-hal yang penting lainnya.
Disini pendekatan eksistensial humanistik adalah mengembalikan potensi-potensi
diri manusia kepada fitrahnya. Pengembangan potensi ini pada dasarnya untuk
mengaktualisasikan diri konseli dan memberikan kebebasan konseli untuk
menentukan nasibnya sendiri dan menanamkan pengertian bahwa manusia pada
fitrahnya bukanlah hasil pengondisian atau terciptanya bukan karena kebetulan.
Manusia memiliki fitrah dan potensi yang perlu dikembangkan.
Fitrah
adalah sebagaimana potensi-potensi manusia lainya diberikan kepada manusia
untuk kelengkapan ciptaan-Nya, sebagai karunia terbesar untuk menunjang fungsi
dan tugasnya di bumi Allah. Fitrah adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan
sejak lahir. Selanjutnya fitrah ini disebut Tauhid,yakni sebagai potensi beragama yang lurus sejak mula kejadiannya.[6]
Dasar pembicaraan mengenai fitrah adalah alquran
surat Ar-Rum ayat 30, yang artinya:
‘’Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’’
B. Fungsi dan Peran Terapis
Dalam pandangan eksistensialis tugas
utama dari seorang terapis adalah mengeksplorasi persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan ketakberdayaan, keputusasaan, ketakbermaknaan, dan kekosongan
eksistensial serta berusaha memahami keberadaan konseli dalam dunia yang
dimilikinya. May (1981), memandang bahwa tugas terapis bukanlah untuk merawat
atau mengobati konseli, akan tetapi diantaranya adalah membantu konseli agar
menyadari tentang apa yang sedang mereka lakukan, dan untuk membantu mereka keluar
dari posisi peran sebagai korban dalam hidupnya dalam keberadaanya di dunia[7]:
“Ini adalah saat ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam,
yang hadir di dunia yang mengancam dan sebagai subyek yang memiliki dunia”.
Frankl (1959), menjabarkan peran terapis
bukanlah menyampaikan kepada klien apa makna hidup yang harus diciptakannya,
melainkan mengungkapkan bahwa konseli bisa menemukan makna, bahkan juga dari
penderitaan. Dengan pandangannya itu Frankl bukan hendak menyebarkan aroma yang
pesimistik dari filsafat eksistensial, melainkan mengingatkan bahwa penderitaan
manusia (aspek-aspek tragis dan negative dari hidup ) bisa diubah menjadi
prestasi melalui sikap yang diambilnya dalam menghadapi penderitaan itu. Frankl
juga menekankan bahwa orang-orang bisa menghadapi penderitaan, perasaan
berdosa, kematian, dan dalam konfrontasi, menantang penderitaan, sehingga
mencapai kemenangan. Ketidak bermaknaan dan kehampaan eksistensial adalah
masalah-masalah utama yang harus dihadapi dalam proses terapiutik.[8]
C.
Tujuan Eksistensial Humanistik
Tujuan mendasar eksistensial humanistik
adalah membantu individu menemukan nilai, makna, dan tujuan dalam hidup manusia
sendiri. Juga diarahkan untuk membantu klien agar menjadi lebih sadar bahwa
mereka memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak, dan kemudian membantu
mereka membuat pilihan hidup yang memungkinkannya dapat mengaktualisasikan diri
dan mencapai kehidupan yang bermakna.
Menurut Gerald Corey terapi eksistensial
humanistik bertujuan agar konseli mengalami keberadaanya secara otentik dengan
menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat
membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Terdapat tiga
karakteristik dari keberadaan otentik, menyadari sepenuhnya keadaan sekarang,
memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan memikul tanggung jawab untuk
memilih. Pada dasar nya terapi eksistensial adalah meluaskan kesadaran diri
konseli, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas
dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.[9]
D. Proses dan Teknik Konseling Eksistensial
Humanistic
Proses konseling eksistensial humanistik
menggambarkan suatu bentuk aliansi terapis antara konselor dengan konseli.
Konselor eksistensial mendorong kebebasan dan tanggung jawab, mendorong konseli
untuk menangani kecemasan, keputusasaan, dan mendorong munculnya upaya-upaya
untuk membuat pilihan yang bermakna. Untuk menjaga penekanan pada kebebasan
pribadi, konselor perlu mengekspresikan nilai-nilai dan keyakinan mereka
sendiri, memberikan arahan, menggunakan humor, dan memberikan sugesti dan
interpretsai dan tetap memberikan kebebasan pada konseli untuk memilih sendiri
manakah diantara alternatif-alternatif yang telah diberikan.
Untuk dapat memahami sepenuhnya perasaan
dan pikiran konseli tentang isu-isu kematian, isolasi, putus asa dan rasa
bersalah, konselor perlu melibatkan dirinya dalam kehidupan konseli. Untuk
mencapai kondisi seperti itu, konselor harus mengkomunikasikan empati, respek,
atau penghargaan, dukungan, dorongan, keterbukaan, dan kepedulian yang tulus.
Sepanjang proses konseling, konselor harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh
sehingga mereka dapat memahami pandangan-pandangan konseli kemudian membantunya
mengekspresikan ketakutan-ketakutannya dan mengambil tanggung jawab bagi
kehidupannya sendiri. Program perlakuan dapat diakhiri jika konseli telah mampu
untuk mengimplementasikan kesadaran tentang diri mereka dan mengarahkan dirinya
untuk mencapai hidup yang lebih bermakna. Kondisi ini memungkinkan konseli menemukan
jalan mudah untuk mengaktualisasikan diri.
Teknik utama eksistensial humanistik
pada dasarnya adalah penggunaan pribadi konselor dan hubungan konselor terhadap
konseli sebagai kondisi perubahan. Namun eksistensial humanistik juga
merekomendasikan beberapa teknik (pendekatan) khusus seperti menghayati
keberadaan dunia obyektif dan subyektif konseli, pengalaman pertumbuhan
simbolik (suatu bentuk interpretasi dan pengakuan dasar tentang dimensi-dimensi
simbolik dari pengalaman yang mengarahkan pada kesadaran yang lebih tinggi,
pengungkapan makna, dan pertumbuhan pribadi). Pada saat terapis menemukan
keseluruhan dari diri konseli, maka saat itulah proses terapis berada pada saat
yang terbaik. Penemuan kreatifitas diri terapis muncul dari ikatan saling
percaya dan kerjasama yang bermakna dari klien dan terapis.
Proses konseling oleh para eksistensial
meliputi tiga tahap yaitu:
1.
Tahap pertama, konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi
asumsi mereka terhadap dunia. Konseli diajak mendefinisikan cara pandang agar
eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada
eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam
kehidupan mereka.
2.
Pada tahap kedua, konseli didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti
sumber dan otoritas dari system mereka. Semangat ini akan memberikan konseli
pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
3.
Tahap ketiga berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka
pelajari tentang diri mereka. Konseli didorong untuk mengaplikasikan nilai
barunya dengan jalan yang kongkrit. Konseli biasanya akan menemukan kekuatan
untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif
eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan
pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaaan kebebasan pribadinya.
Firman Allah SWT : (QS Al Baqarah : 30 )
Artinya :
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(Q.S Al
Baqarah : 30)
E.
Pembahasan
Humanistik adalah sebuah
“gerakan” yang muncul dengan menampilkan gambaran manusia yang berbeda dengan
gambaran manusia dari psikoanalisis ataupun behaviorisme, yaitu berupa gambaran
manusia sebagai makhluk yang bebas dan
bermartabat serta selalu bergerak ke arah pengungkapan segenap potensi yang
dimilikinya apabila lingkungan nya memungkinkan.
Teori humanistik berkembang
sekitar tahun 1950-an sebagai teori yang menentang teori-teori psikoanalisis
dan behavioristik. Serangan humanistik terhadap kedua teori ini adalah bahwa
kedua-duanya bersifat dehumanizing (melecehkan
nilai-nilai manusia).
Teori freud dikritik karena
memandang tingkah laku manusia didominasi atau ditentukan oleh dorongan yang
bersifat primitif, dan animalistik (hewan). Sementara behavioristik dikritik
karena teori ini terlalu asyik dengan penelitiannya terhadap binatang, dan
menganalisis kepribadiaan secara pragmentasi. Kedua teori ini dikritik karena
memandang manusia sebagai bidak atau pion yang tidak berdaya dikontol oleh
lingkungan dan masa lalu, dan sedikit sekali kemampuan untuk mengarahkan diri.
Abraham maslow (1908-1970)
dapat dipandang sebagai bapak dari psikologi humanistik. Manusia adalah makhluk
yang kreatif, yang dikendalikan bukan oleh kekuatan-kekuatan ketidaksadaran
psikoanalisis, melainkan nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri. Pada tahun
1958 maslow menanamkan psikologi humanistik sebagai “kekuatan yang ketiga”, di
samping psikologi behavioristik dan psikoanalisis sebagai kekuatan pertama dan
kekuatan kedua.
Menurut maslow psikologi harus
lebih manusiawi, yaitu lebih memusatkan perhatiaannya pada masalah-masalah
kemanusiaan. Psikologi harus mempelajari kedalaman sifat manusia, selain
mempelajari perilaku yang nampak juga mempelajari perilaku yang tidak nampak;
mempelajari ketidaksadaran sekaligus mempelajari kesadaran. Introspeksi sebagai
suatu metode penelitiaan yang telah disingkirkan, harus dikembalikan lagi
sebagai metode penelitiaan psikologi. Psikologi harus mempelajari manusia bukan
sebagai tanah liat yang pasif, yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari
luar, tetapi manusia adalah makhluk yang aktif, menentukan gerakannya sendiri,
ada kekuatan dari dalam untuk menentukan perilakunya.
Ada empat ciri psikologi yang berorientasi humanistik,
yaitu:
1. memusatkan perhatiaan pada person yang mengalami, dan
karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena sebagai primer dalam
mempelajari manusia.
2. menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia,
seperti kreativitas, aktualisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang
manusia yang mekanistis dan reduksionistis.
3. menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih
masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang akan
digunakan.
4. memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang
tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan
potensi yang inheren pada setiap individu. Selain maslow sebagai tokoh dalam
psikologi humanistik, juga carl rogers (1902-1987) yang terkenal dengan
clint-centered therapy.
Terdapat beberapa kritik
tentang kelemahan pendekatan humanistik mengenai kepribadian yaitu sebagai
berikut.
a) poor
testability, teorinya sulit diuji (diukur) secara ilmiah, seperti konsep
perkembangan manusia dan self-actualization.
b) unrealistic view
of human nature. Humanistik terlalu optimis dalam mengasumsikan tentang
hakikat manusia. Dalam mendeskripsikan ciri-ciri self-actualizing terlalu
sempurna.
c) inadequate
evidence, bukti-bukti yang tidak tepat. [10]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Humanistik
adalah sebuah gerakan yang muncul dengan menampilkan gambaran manusia yang
berbeda dengan gambaran manusia yang berbeda dengan gambaran manusia dari
psionalisis ataupun behaviorisme, yaitu berupa gambaran manusia sebagai makhluk
yang bebas dan bermartabat serta selalu bergerak kearah pengungkapan
segenappotensi yang dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan.
Ada empat ciri psikologi yang berorientasi humanistik
1. memusatkan perhatiaan pada person yang mengalami, dan
karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari
manusia
2. menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia,
seperti kreativitas, aktualitas diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang
manusia yang mekanistis dan reduksionistis.
3. menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih
masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitiaan yang
akan digunakan.
4. memberikan perhatiaan penuh dan meletakkan nilai yang
tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan
potensi dan inheren pada setiap individu.
Kritik tentang teori humanistik
a) teorinya sulit diuji (diukur) secara ilmiah, seperti
konsep perkembangan manusia dan self-actualization.
b) humanistik terlalu optimis dalam mengasumsi tentang
hakikat manusia.
c.) bukti-bukti yang tidak tepat.
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.uinsby.ac.id/10126/6/bab%202.pdf
Gerald,
Corey. 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.Bandung: PT ERESCO
Kartono,
Kartini dan Dali Gulo, 2006. Kamus Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada
W.S Winkel,Bimbingan
dan praktek Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: PT. Gramedia. 1987)
Departemen
Pendidikan Nasional, Modul Bimbingan dan Konseling PLPG Kuota
2008(Surabaya:Unesa,2008)
Walgito,
Bimo, 2004. Pengantar Psikologi Umum. CV Andi Offset. Yogyakarta.
praja,
Yuliana S,Fitrah menurut Ibnu Taimiyah Dalam Ulumul Qur’an , Vol. II
, No.7 tahun 1990, Jakarta, LSAF.
Assegaf,
Abdurrahman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2011
[3] W.S Winkel,Bimbingan
dan praktek Konseling dan Psikoterapi,
(Jakarta: PT. Gramedia. 1987) Hal 383
2008(Surabaya:Unesa,2008),h.17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar